Hari itu… Hari ketiga dalam seminggu. Bila dihitung sejak Hari Minggu. Masa yang sangat menegangkan bagi pasangan muda –baru dua tahun mereka menikah- sekaligus saat yang paling membahagiakan bagi mereka.
Hari itu… Pagi buta. Waktu paling baik untuk shalat malam. Waktu di mana Yang Maha Pemberi Kehidupan turun ke bumi, dari singgasana-Nya yang disanggah tujuh malaikat. Untuk mengabulkan permintaan dan harapan hamba-Nya. Insya Allah.
Hari itu… Sejarah mencatat, dan ia akan terus mencatat. Peristiwa yang sangat fenomenal bagi kehidupan manusia di muka bumi. Pertaruhan hidup-mati seorang ibu demi melihat anaknya melihat dunia.
Hari itu… Momen paling membahagiakan. Kelahiran sang anak yang sudah ditunggu Sembilan bulan lamanya. Ibunya yang lelah mengandung namun tak terbesitpun keluh. Bahkan kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
Tangis kelahiran sang bayi. Sebuah kenyataan bahwa ia dilahirkan dengan jiwa yang fitrah. Ibarat kertas, ia masih putih. Polos. Tak ada coretan sedikitpun. Saya pernah bertanya-tanya, mengapa setiap bayi yang dilahirkan selalu menangis? Cukup banyak teori bermunculan, namun ada satu pendapat menarik. Bayi menangis karena sebentar lagi ia akan berjalan di muka bumi yang penuh dengan fitnah, dosa, dan maksiat. Ia ingin kembali ke rahim sang ibu, jika bisa. Seperti tak mau menerima kenyataan bahwa ia akan berselimut dosa.
Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Setidaknya ada satu hal yang bisa saya tangkap. Bahkan bayi pun awalnya menolak menodai beningnya hati, ketika ditakdirkan menapaki bumi. Tapi apa daya? Memang itulah kodratnya, meski harus berlumuran noda hitam. Ketika makhluk lain tak ada yang berani mengambil amanah yang berat, justru manusialah yang dengan bodohnya menunjuk jari. Tak hentinya langit, bumi, dan seluruh isinya mencemooh. Memang manusia bodoh, tapi justru itulah motivasinya agar terus belajar. Berkembang. Hingga mereka yang mencemooh menjadi tunduk padanya –menghormatinya- dan membantunya.
Hari itu… Disematkan nama yang indah untuknya. Sebuah do’a dari kedua ibu-bapaknya. Hegar Reza Bisma. Tercatat: 25 Januari 1994.
Depok, 25 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar