Sabtu, 19 Februari 2011

Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif dari Bangsa Barat?

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi "best seller". (<span>http://www.idearesort.com/resources/book01.php</span>) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang.



1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan yang banyak.



2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran, dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yg wajar



3. Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban", bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT, dll. semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus iImu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.



4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal, tapi tidak menguasai apapun).



5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yg berbasis inovasi dan kreativitas.



6. Orang Asia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.



7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.



8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah, atau dalam seminar, atau workshop, peserta jarang mau bertanya, tetapi setelah sesi berakhir, peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.



Sebenarnya masih banyak poin-poin yang dijelaskan oleh Bapak Prof. Ng Aik Kwan ini, silahkan search di Google atau cari buku beliau.



Dalam bukunya, Prof.Ng Aik Kwang juga menawarkan beberapa solusi, di antaranya sebagai berikut:



1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya.



2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.



3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran, tapi benar-benar dikuasainya.



4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.



5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran & berani ambil resiko. Ayo bertanya!



6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu.



7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Kita bertanggung jawab untuk mengarahkan anak/murid kita untuk menemukan passionnya dan men-supportnya. Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif, tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.

sumber: notes facebook Bang Jibran Hanif

Suka Duka Melihat Dunia

Hari itu… Hari ketiga dalam seminggu. Bila dihitung sejak Hari Minggu. Masa yang sangat menegangkan bagi pasangan muda –baru dua tahun mereka menikah- sekaligus saat yang paling membahagiakan bagi mereka.
 Hari itu… Pagi buta. Waktu paling baik untuk shalat malam. Waktu di mana Yang Maha Pemberi Kehidupan turun ke bumi, dari singgasana-Nya yang disanggah tujuh malaikat. Untuk mengabulkan permintaan dan harapan hamba-Nya. Insya Allah.
 Hari itu… Sejarah mencatat, dan ia akan terus mencatat. Peristiwa yang sangat fenomenal bagi kehidupan manusia di muka bumi. Pertaruhan hidup-mati seorang ibu demi melihat anaknya melihat dunia.
 Hari itu… Momen paling membahagiakan. Kelahiran sang anak yang sudah ditunggu Sembilan bulan lamanya. Ibunya yang lelah mengandung namun tak terbesitpun keluh. Bahkan kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
 Tangis kelahiran sang bayi. Sebuah kenyataan bahwa ia dilahirkan dengan jiwa yang fitrah. Ibarat kertas, ia masih putih. Polos. Tak ada coretan sedikitpun. Saya pernah bertanya-tanya, mengapa setiap bayi yang dilahirkan selalu menangis? Cukup banyak teori bermunculan, namun ada satu pendapat menarik. Bayi menangis karena sebentar lagi ia akan berjalan di muka bumi yang penuh dengan fitnah, dosa, dan maksiat. Ia ingin kembali ke rahim sang ibu, jika bisa. Seperti tak mau menerima kenyataan bahwa ia akan berselimut dosa.
 Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Setidaknya ada satu hal yang bisa saya tangkap. Bahkan bayi pun awalnya menolak menodai beningnya hati, ketika ditakdirkan menapaki bumi. Tapi apa daya? Memang itulah kodratnya, meski harus berlumuran noda hitam. Ketika makhluk lain tak ada yang berani mengambil amanah yang berat, justru manusialah yang dengan bodohnya menunjuk jari. Tak hentinya langit, bumi, dan seluruh isinya mencemooh. Memang manusia bodoh, tapi justru itulah motivasinya agar terus belajar. Berkembang. Hingga mereka yang mencemooh menjadi tunduk padanya –menghormatinya- dan membantunya.
 Hari itu… Disematkan nama yang indah untuknya. Sebuah do’a dari kedua ibu-bapaknya. Hegar Reza Bisma. Tercatat: 25 Januari 1994.

Depok, 25 Januari 2011

Minggu, 13 Februari 2011

Curahan Teman

Beberapa hari yang lalu, seorang teman datang kepada saya untuk mencurahkan isi hatinya. Sebut saja namanya John (John? Oh my God.. Where in the world a woman was called 'John'?). Oh, salah. Berhubung teman saya ini perempuan, katakanlah "Fulanah".

Dia menyerahkan selembar catatan kepada saya yang isinya sebagai berikut:

"1. Bertahan hidup, hanya menuruti atau melakukan sesuatu karena diri sendiri. Dilupakan selalu menyakitkan tapi tidak pernah terkejut. Cuma berusaha mengubur kemarahan dan kesedihan dengan menjadi sesuatu yang hampa. Dengan kenyataan bahwa tidak pernah menjadi sesuatu yang penting. Tidak mati tapi tidak hidup. Cukup dengan menuruti orang lain maka bisa hidup. Karena begitu tak berdaya sendirian. Tidak pernah ada yang mengharapkan pecundang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ingin merasakan, tapi selalu terlihat dan terdengar.. kesedihan dan ketidakmampuan dijadikan kemarahan yang dalam. Cuma sebuah alat. Digunakan tak pernah diingat, tidak digunakan pun lebih terlupakan dan terbuang. Hingga hari ini pun tidak bisa merasakan sesuatu yang disebut bahagia atau tenang. Hingga tak ada takut bagi orang lain. Bagi yang melihat tahu semua itu. Wajah yang menunjukkannya
2. Balas dendam, dengan membuat perasaan orang lain hancur suatu saat. Sakit di tubuh tidak sebanding dengan pikiran dan perasaan yang hancur. Selalu ada keinginan untuk melihat seseorang begitu menyesal. tidak pernah iri material, tidak ingin mengambil perasaan. Hanya ingin melihatnya hancur dan meninggalkannya Semuanya..
Karena keduanya, hidup dengan perasaan soliter yang dijalani"


Dengan wajah sedih, dia berbicara panjang lebar ke saya bahwa seperti itulah hidupnya. Saya sendiri juga disebutnya sebagai orang pertama yang dia ceritakan mengenai hal ini. Rupanya, saking tidak percayanya terhadap orang lain -termasuk keluarganya- tak ada yang mampu menjadi pundak yang dapat dia jadikan senderan ketika menangis. Hasilnya? Bertahun-tahun dia menumpuk semua perasaan itu, menggumpal menjadi sebuah kebencian.

Entah kenapa justru permasalahan yang cukup pelik ini, dia ceritakan ke saya. Saya bukan siapa-siapa, cuma teman yang... itupun baru setahun saya cukup mengenalnya. "Setiap orang dalam hidup gw selalu pergi, Gar. Semuanya selalu bikin gw tinggal sendirian. Kalau suatu saat lw akan pergi, gw sudah siap ketika hari itu tiba. Gw nggak bisa maksa lw biar nggak pergi, tapi kalau iya.. jangan sekalipun lw begitu." katanya.


***

Sebenarnya, setiap pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Tinggal bagaimanapun kita membingkainya dengan kenangan atau kesedihan.

Entah mau menulis apa lagi, setidaknya saya lagi curhat tentang curhatan Fulanah ini. Tak perlulah berkomentar bila tak ingin, cukup kau do'akan agar dia diberikan ketenangan... Karena hidupnya sudah cukup menderita..

Minggu, 23 Januari 2011

Road to Kesatuan part 1


19 Januari 2011. Rabu dini hari. Kira-kira pukul 04.30 WIB gw bangun dari istirahat panjang. Setelah ngulet sebentar, gw bergegas mengambil air wudhu. Setelah selesai Subuh, kupanjatkan do’a kepada Allah agar diberikan kekuatan, ketenangan, dan keberuntungan mengingat hari ini gw -bersama 5 orang yang lain- diutus oleh Bu Sayyidah (Pembina SC Ekonomi) mengikuti olimpiade akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kesatuan, Bogor. Setelah itu barulah gw mandi pagi (bukan mandi wajib). Ketika selesai berpakaian, hape gw berbunyi… tiiiit tiiit tiiiiiit… (kayak apaan ya?). Ah, SMS dari Reza. Isinya: “Gar, jgn lupa bawa helm, okeh.”

Oke bos, santai saja. Lanjut… Mulailah perut ini berkicau, tanda minta diisi. Dan juga berarti cacing-cacing mulai demo. Lagi asyiknya memanjakan perut, Si Reza SMS lagi: “Gar gw uda di alfamart. Cepet” Ini orang nggak mau pengertian sedikit apa ya? Ya, sudahlah. Gw percepat makan dan pamit pada orangtua seraya meminta do’a restu agar diberikan kemudahan nanti.
<kesimpulan 1: do’a orangtua itu manjur lho, sering-sering minta dido’akan ya!>

Reza sudah menunggu di depan Alfamart Parungbingung. “Gar, lama amat sih. Gw dah tungguin daritadi!” “Sabar, Bro. Masih jam setengah 6…” “Ya iya, kita harusnya udah sampe jam segitu di Dela…mana lagi Kak Ratna telpon daritadi…” “Oke, ya udah cabut dah…”

Kuda besi berlari lincah di remang pagi. gw mencoba membetulkan helm butut gw biar nggak kelihatan terlalu memalukan bututnya. Si Reza masih fokus. Dan sampailah kita di Baldes.

“Kak Ratna mana, Gar?”
“Mana gw tau..coba dah lw sms..”
Beberapa menit kemudian…
“Gar, Kak Ratna masih di rumah.”
“HAH? APAAN?”
“Tau dah gw juga bingung, katanya sih nungguin ortu dulu, mau pamit katanya.”

Etdah, kirain cuma jam tangan orang Parungbingung yang karet. Nggak tahunya… orang Indonesia kagak ada bedanya…
<kesimpulan 2: orang Baldes jamnya lebih elastis dari orang Parungbingung.>

Kita harus kembali menunggu. Dan ternyata memang cukup lama menunggu.. Si Reza nyeplos, “Gw dah nungguin orang 2 kali hari ini nihh..” Hahaha… Kasihan. Keibaan yang pertama. Tak lama kemudian, Kak Ratna datang..dengan wajah tanpa dosa sambil berkata, “Maaf ya, masa sama ortu kagak pamit dulu sihh..” Iyedah, begitu mungkin kata Reza dalam hati coz dia dah dongkol daritadi. Sedetik kemudian, Kak Ratna meluncur dengan tunggangannya… dan di luar dugaan melesat lebih cepat dari apa yang gw  perkirakan.

“Busett dahh ntu orang beneran raider kali yahh??”
“Motor gw mah rusak Gar, kagak mungkin kekejar segitu…”
Yah, payah dah..

Singkat kata, kita kesusahan ngejar Kak Ratna yang udah kayak pembalap liar. Untung doi masih baik mau nungguin bentar..abis itu ngebut lagi..sama aja bo’ong ntu mahh..

Dan sampailah di sebuah Alfamart yang gw sendiri lupa ntu dimana. “Nunggu siapa Kak?” “Tuh si Nunu” Yah nunggu lagi dahh.. gw liatin si Reza.. dan gw mencoba menerobos isi pikirannya.. dan ah, ya! Dia dongkol lagi!

“Gar..”
“Ape??”
“Kamar mandi dimana sih?”
“Cari gih sono..gw mah bukan orang sini..”
Si Reza celingukan nyari WC. Kak Ratna? Maenan hape..(belakangan gw baru tw klo dia sms Kak Nunu)
“Gar, si Reza kemana?”
Busett dah ntu orang ngilangnya cepet amat yak?? “Biarin aja lah tar juga balik lagi…”
Dan dugaan gw bener..tampangnya lebih fresh dari yang tadi.
“Dari mana lw?”
“Kamar mandi..”
“Di mana? Mang ada yah?”
“Tuh di pojokkan..tapi kagak ada airnya..”
“Maksud lw??”
“WC TERBUKA, DI SAMPING ALFAMART”
Dan tepat saat itu, Kak Nunu datang diantar emaknya. Ya udah dah, langsung cabut daripada ntar ketauan Si Reza buang oli kotor sembarangan, bisa berabe gw… keibaan yang kedua..

Dan sampailah kita di Stadela.. (abisnya kelamaan klo diceritain di jalan). Setelah menitipkan motor, kita langsung nyamperin Si Rizka ma Kak Yuni yg ternyata dah nungguin dari tadi.

“Nah sekarang kita ngapain nihh?” celetuk gw.
“Nungguin Bu Sayyidah..” kata si Rizka.
Ehem.. langsung aja gw liatin si Reza… “Za, nunggu Bu Say dolo nih.”
“Mamam, gw nungguin 4 orang sekarang. Besok2 gw ngaret aja ah..”
Gw cuma ketawa setan..

“Nah tuhh Bu Say dateng.. eh bawa apaan noh?”
“Nih Ibu bawain gorengan, yg belum sarapan ayo nyarap dulu ya..”
Wih emang dah Bu Say pengertian banget. Tapi tetep aja gw gak ambil tuh gorengan coz perut belum siap diisi lagi..

Setelah membeli karcis dan menunggu kereta..akhirnya kita naik juga di kereta jurusan Bogor.. kelas ekonomi. Gw sihh sempet rada bingung aja ma kelas-kelas di kereta. Ada kelas bisnis, ekonomi.. kenapa kagak ada ya kelas fisika? Haha jayus sangat gw….

Kereta berjalan sesuai relnya (iyalah lw kira mw jalan di mana??). pemandangan indah terpampang di jendela kereta. Subhanallah sungguh sempurna ciptaan-Mu Ya Rabb.. tak terlukiskan betapa indahnya suasana yg masih asri..walopun udah kecemar sama hunian dan industri. Perhentian selanjutnya adalah Stasiun Bogor

Sekitar 15 menit kemudian, kita sampai di Stasiun Bogor. Busett dah, ini stasiun terbuka yahh?? Maklum gw jarang naik kereta.

Turunlah! Betah amat si di kereta?

Next, kita nyari angkot ke Kesatuan. Setelah ketemu angkot yg cocok…
“Buset gw duduk dimane nihh?” kata Reza.
“Gelantungan aja lw..”
Gw sih ga nyangka aja angkot2 di Bogor ntuh rata2 kagak ada bangku yg di deket pintunya. Badan lw kan bongsor Za, gelantungan gimane?
“Ya Allah, mana gerimis lagi.. masa gw mesti gelantungan begini?”
“Sabar ya Za..” Giliran Kak Nunu yg ngasih semangat..atau belas kasihan..
Keibaan yg ketiga.

“Dek, tungguin aja dolo ya.. Saya nanti turun kok bentar lagi.” Seorang ibu memberikan harapan yg membuat si Reza bersyukur setelah mensyukuri diri sendiri..

Angkot pun berjalan tenang.. di jalanan sampe deket Kebun Raya Bogor… atau Kebonnya orang Bogor, gw perhatiin sampah dimana-mana.. ga tanggung baunya, bau sayuran..mending dah sayuran, BAU IKAN, amiss gilaa… (lebayy..)
<kesimpulan 3: Depok lebih bersih daripada Bogor, banggalah menjadi orang Depok!!>

“Kiri Bang…” Alhamdulillah, ibu-ibu yg tadi beneran nepatin janjinya.. akhirnya si Reza bisa duduk tenang di dalam angkot yg panas..

Kita pun sampai di STIE Kesatuan.. pikiran pertama gw begitu masuk sini… INI PERGURUAN TINGGI???

Asli dah, kagak ada setengahnya Smanli.. Kok bisa ya nempatin sekolah tinggi di deket pasar begini? Ah sudahlah toh itu bkan urusanku.. (ujung2nya gw baru tw klo ni tempat emang luas)

Registrasi dulu cuyy.. kelompoknys si Reza no. 25, gw no. 7.. kan lumayan tuhh tim 7, kayak timnya Naruto (halahh apasih gw)..

“Eh kita foto dulu ya, buat dokumentasi sekolah” kata Bu Say. Aduh Bu, saya inikan paling males dan takut difoto.. Masalahnya itu gimane nanti klo foto2 gw kesebar luas dan dijadiin wallpaper di hape orang2 yg tak bertanggungjawab?? Kan jadi tenar gw.. gw kan takut tenar.. tapi gw dah tenar duluan, gimana dong?? (hahaha…pede gila gw..)

Sehabis bernarsis ria..gw sih cuma stay cool aja..hhhaa
“Bu, toilet ma masjid dimana?”
Wih si Reza pertanyaannya bagus banget.. dua instalasi itu yg memang sangat vital dibutuhkan. Bayangkan dunia tanpa toilet?? Bayangkan juga dunia tanpa masjid, bukankah tak ada lagi penyeru kebaikan di atas bumi ilahi?
“Tuh di sana”
Oke deh, gw ma Reza langsung nyamperin tuh masjid..atau lebih tepat disebut Musholla (emang musholla sih, coz ada papan pemberitahuannya)..

Abis buang oli kotor dan melaksanakan sunnah.. gw langsung ke tempat Bu Say. Wah,pada makan nihh..
“Gar makan dulu, ni konsumnya” kata Bu Say..
Alhamdulillah.  Dikasih roti ma minuman isotonik. Lumayann daripada lumanyunn..
<kesimpulan 4: gw nilai suatu acara dari konsumnya..klo enak berarti acaranya baguss.. klo ga? Ya lw bisa nyimpulin sendiri lahh..hhee>

“Gar?”
Ada seseorang yg asing manggil gw. Bukan asing, gw pernah liat, tapi siapa ya? “Gar, lw ikut lomba juga? Kok lw bisa masuk IPS??”
Oh iya, itumah Toni, temen SD gw.. pantesan aja.. haha jadi nostalgila gw di sinii.. “Iya nih Ton, gw dijebak di sini. Eh iya, gw mah emang punya tujuan di IPS. Lw masuk 6 toh?”
“Iya nih..mana gw sendirian lagi yg kelas XI-nya”
“Ton? Gimane kabar lw??” si Reza nyapa Toni.
“Lw juga ikut Za?”
“iye nihh…Cuma beda tim ma si Hegar..”
Gw langsung nanya ke Reza, “Za, lw kenal?”
“Kenal lahh, temen SMP gw..”

Kita pun berbincang2 panjang dikali lebar. Dan Kesatuan semakin ramai oleh peserta dari berbagai belahan dunia..hha
Muai dari yg berjilbab sampe yg….racun (cantik itu relatif, tapi lw pasti sepaham ma gw..hhe)
“Kak Nunu, racunnya banyak banget Kak.” Kata gw.
“Ya udah jangan diliatin Gar”
Pengennya sih emang kagak mau ngeliat gw. Tapi tetep aja keliatan! Terus gmana? Ya Allah kuatkanlah imanku..atau ini merupakan rezeki bagiku, hhe.. Thanks God, gw sih selalu husnuzon..hha..

“Yuk ke aula, bentar lagi pembukaan..” kata Bu Say yg daritadi ngobrol sama Pak Cep, Pembina Sma 6. Okehh, gw langsung ikutin aja pada kemana jalannya. Dan begitu sampe aula..banyak amat yg ikut lomba! Ada kali ratusan.. belakangan si Reza ngitung sekitar 165an lebih (termasuk kita) yg ikut lomba. Ini artinya kita mesti ngalahin mereka semua? Okehh!

Miris amat ya, kita duduk di paling belakang. Mana lagi MC di depan kagak kedengeran ngomong apa. Di telinga gw kayak kumur2, ga jelas..haha.. ya sudahlah gw mending diem aja, stay cool..hhe

“Gar, kita di ruang 2.” Kata Kak Nunu. Yo wess lahh, ruang berapapun hajarr..

Setelah pembukaan, kita langsung menuju ruang pertempuran.. RUANG 1.


<bersambung…>

Sabtu, 01 Januari 2011

Resiko Menegakkan Islam


Hari ini saya teringat akan pertanyaan seorang ikhwah kepada murabbi-nya, ketika ia berkata: “Akh, ana bingung dengan kemajuan dakwah di sekolah. Terus terang ana merasa dakwah ini stagnan. Bahkan bisa dibilang mundur perlahan. Ada apa ini?”
Hari ini saya mengenang peristiwa tersebut. Karena pada hari-hari selanjutnya, mungkin kita akan menemui pertanyaan yang sama. Kita selalu butuh sikap kritis dalam mengarungi perjalanan dakwah di sekolah ini. Dan pertanyaan itu kini berubah dari ‘ada apa’ menjadi ‘siapa’. Ya, siapa yang patut bertanggungjawab atas kemunduran tersebut.
Kita tak boleh menyalahkan dakwah. Ia berjalan sebagaimana mestinya. Penggeraknyalah yang seharusnya dapat menjelaskan situasi ini. Mungkin sistemnya yang kurang tepat, atau mungkin individunya yang gagal menjadi teladan bagi objek dakwah mereka. Bila sistemnya yang menjadi ‘beban’, maka perlu dilakukan perubahan sistematika agar ia dapat meresap ke dalam jiwa mad’u. Tetapi jika masalah terdapat pada individu, atau kita sebut aktivis dakwah, maka perlu kita muhasabah.
Aktivis, merupakan perantara untuk mad’u agar dapat menerima cahaya Ilahi ke dalam hati dan jiwa mereka. Bagaimana mungkin kita dapat mendakwahi kerabat kita, sementara diri sendiri bahkan belum didakwahi? Peranan aktivis menjadi penting, karena merekalah yang secara langsung berinteraksi dengan mad’u. Apapun kesalahan yang dilakukan oleh aktivis, sekecil apapun itu, pastilah akan menjadi besar di mata mereka. Hal ini merupakan resiko yang wajib diterima, karena secara alamiah manusia lebih mudah mencari keburukan orang lain disbanding melihat segala kebaikan yang ada. Oleh karena itu, setiap aktivis haruslah menjadi teladan dalam setiap aspek kehidupan, agar mereka yang masih awam dapat melihat contoh nyata serta menjadi tempat bertanya agar dapat memenuhi rasa keingintahuan mereka.
Maka ketika saya mulai melihat ada perbaikan kualitas dalam diri pemuda Muslim, perlahan saya pecaya bahwa generasi Muslim kini mulai belajar menjadi Muslim yang kaffah. Meninggalkan segala kekerdilannya menuju kebesaran, keabadian, dan kenyataan bahwa ia takkan mati selamanya.
Sekali lagi saya mengenang pertanyaan ikhwah tersebut, dimana kita masih butuh banyak pengalaman, pembelajaran, serta tekad yang kuat membantu perjuangan menuju kebangkitan Islam kelak. Allahu a’lam.

Depok, 25 Desember 2010
Hegar Reza Bisma

Mohon maaf atas segala kekurangan. Catatan ini terinspirasi oleh buah tangan Ust. Anis Matta.